PEMBEKALAN KEMAMPUAN MENELITI BAGI CALON GURU

Oleh: ABDUL GAFUR

 

Dalam tulisan yang berjudul “Pengembangan Profesi Guru” (BPos 29-10-2001), tercetus keluhan tentang kesulitan para guru untuk melakukan penelitian. Menurut Pak Hamdaini, si penulisnya, banyak guru yang tidak mampu melakukan penelitian karena memang tidak pernah diberi bekal semacam itu sebelum terjun menjadi guru. Kesulitan itu, lanjutnya, bahkan ditemui di kalangan guru yang mencapai gelar S1 melalui jalur skripsi.

Bapak guru kita tadi sama sekali tidak mempersalahkan lembaga pendidikan guru (IKIP/FKIP/STKIP yang secara kolektif disebut LPTK) atas kenyataan tadi. Meskipun demikian, penulis melihat bahwa karena tugas pembekalan segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi sebagai guru ada di pundak LPTK, maka adanya keluhan seperti di atas menandakan adanya ‘sesuatu’ yang tidak berjalan semestinya dalam proses pembekalan itu. Penulis ingin menyoroti sisi yang belum disentuh ini dengan asumsi bahwa keluhan kelemahan tadi memang benar, setidaknya bagi sebagian guru.

 

Skripsi dan Nonskripsi

Perlu tidaknya wajib-skripsi sudah sejak lama diperdebatkan, termasuk di lembaga pendidikan guru. Meskipun begitu, agaknya semua sependapat bahwa mahasiswa strata-1, termasuk yang calon guru, perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk melakukan penelitian. Perbedaan di antara yang pro dan yang kontra wajib-skripsi, dalam pandangan penulis, lebih terletak pada cara membekalkan kemampuan meneliti kepada mahasiswa dan pada pandangan mereka mengenai peran skripsi dalam pembekalan tersebut.

Penyusunan skripsi, menurut  yang pro wajib-skripsi, merupakan jalur sangat strategis untuk melatih mahasiswa merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil penelitian. Dengan penyusunan skripsi diharapkan sarjana S1 mampu melakukan penelitian mandiri yang berkaitan dengan profesinya di masyarakat. Sementara itu, yang tidak memandang perlu wajib-skripsi berpendapat bahwa pembekalan itu bisa dan cukup dilakukan dengan cara menyisipkan dalam berbagai mata kuliah, dengan puncaknya mata kuliah Metodologi Penelitian dan Seminar atau semacamnya. Menurut mereka, skripsi lebih diperuntukkan bagi mahasiswa pilihan yang dipandang kelak mampu berkarir di bidang penelitian dan pendidikan tinggi, dan mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Sayang, tampaknya angan-angan kedua pihak sama-sama belum sepenuhnya tercapai. Integrasi pembekalan kemampuan penelitian dalam berbagai mata kuliah dalam prakteknya amat sulit dilaksanakan. Bahkan mata kuliah Metodologi Penelitian yang jadi andalanpun menghadapi berbagai kendala, seperti keterbatasan waktu, kesibukan dosen, sementara jumlah mahasiswa terlalu banyak. Walhasil, pencapaian sasaran amat jauh dari ideal. Di pihak lain, wajib-skripsi bagi semua mahasiswa amat mempersulit pengendalian mutu. Mahasiswa berkemampuan rendah sulit diharapkan dapat menghasilkan skripsi yang baik seperti temannya yang memang cemerlang. Pilihan buat mereka, selain drop out, adalah memaksa dosen pembimbing skripsi bekerja ekstra keras, berlaku tidak jujur, atau merengek agar tuntutan mutu diturunkan. Dua pilihan terakhir membuahkan hasil yang bisa ditebak: lulusan yang sebenarnya lewat jalur skripsi tetapi berkemampuan rendah dalam penelitian.

 

Memilih Masalah

Terlepas dari skripsi atau nonskripsi, pembekalan kemampuan meneliti kepada mahasiswa calon guru mestinya mencakup semua segi penelitian, dari merencanakan, melaksanakan, hingga melaporkan hasil penelitian. Tidak terlalu menjadi persoalan apakah semua aspek tadi dicakup dalam satu atau beberapa mata kuliah.

Bagian terpenting sekaligus tersulit dari perencanaan penelitian adalah mengidentifikasi masalah. Sulitnya pembekalan kemampuan mengidentifikasi masalah ini terlihat dari rendahnya kemampuan mahasiswa dalam segi ini. Kenyataan bahwa banyak mahasiswa memerlukan hingga satu semester atau bahkan lebih hanya untuk mendapatkan masalah untuk skripsinya menandakan bahwa kemampuan itu belum tertanam sebagaimana mestinya. Maraknya kegiatan plagiat agaknya juga berawal dari sini. Keluhan bahwa banyak guru bergelar S1 kebingungan ketika diharuskan melakukan penelitian, menurut hemat penulis, juga banyak disebabkan oleh ketidakmampuan melihat dan memilih masalah.

Sulitnya pembekalan kemampuan mengidentifikasi masalah sering membuat  alokasi waktu untuk bagian ini dalam mata kuliah Metodologi Penelitian jadi amat tidak memadai untuk mendapatkan hasil semestinya. Menurut penulis, pengasahan kemampuan ini sebaiknya dicakup sedini mungkin, dengan menyisipkan dalam berbagai mata kuliah yang memungkinkan untuk itu. Mahasiswa harus selalu dilatih dan diarahkan untuk senantiasa kritis dan kreatif melihat dan merumuskan berbagai masalah yang muncul dalam setiap mata kuliah yang diikutinya. Jika ini bisa berjalan dengan baik, bekal kemampuan ini akan dimiliki oleh setiap lulusan, yang lewat jalur skripsi ataupun tidak. Perencanaan penelitian lengkapnya secara formal dan mungkin sekaligus pelaporan hasilnya, dapat dicakup dalam mata kuliah Metodologi Penelitian yang bebannya menjadi lebih ringan.

Dalam program skripsi, apabila mahasiswa menemui kesulitan mendapatkan masalah, dosen pembimbing harus bekerja lebih keras mengarahkannya. Dalam kasus ekstrem, ada dosen yang lebih suka ‘memberi’ masalah kepada mahasiswa bimbingannya. Biasanya masalah yang diberikan itu adalah bagian dari suatu masalah besar yang sedang menjadi minat atau proyek penelitian si dosen. Di sini, kelihatannya kedua belah pihak sama-sama untung. Si mahasiswa tidak perlu pusing mencari masalah; ia pun akan dilayani dengan sangat baik oleh dosen pembimbingnya yang memang sangat berkepentingan dengan hasil penelitiannya. Sementara sang dosen memperoleh tenaga kerja murah dan berdedikasi tinggi untuk melaksanakan proyeknya. Praktek seperti ini di satu sisi mungkin memang dapat mendukung terlaksananya penelitian longitudinal berjangka panjang, bercakupan luas, dan berbobot tinggi, yang memberikan sumbangan penting bagi perkembangan ilmu. Namun, di sisi lain jalan pintas itu tidak mengasah kejelian dan kreativitas mahasiswa dalam mengidentifikasi masalah, dengan akibat seperti telah disinggung di atas.

Pelatihan penelitian bagi mahasiswa diadakan untuk memberikan pengalaman belajar tentang penelitian kepada mereka. Di sini kontribusi bagi pengembangan pengetahuan bukanlah sasaran utama, walau tidak berarti tidak penting. Untuk skripsi kedua hal tadi harus dapat dicakup sekaligus, tetapi tetap saja pengalaman belajar penelitian seyogyanya lebih diutamakan. Bukankah dalam yang namanya belajar, proses lebih penting dari hasil.

 

Penelitian Pendidikan

Dalam rangka pelatihan penelitian bagi mahasiswa (termasuk program skripsi), ada lembaga pendidikan guru yang memberi keleluasaan kepada mahasiswanya untuk mengangkat masalah kependidikan atau bukan kependidikan. Sebagai contoh, di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam, dalam mata kuliah Metode Penelitian dan program Skripsi mahasiswa boleh melakukan penelitian mengenai pendidikan umum, pendidikan biologi, atau biologi murni. Dengan pilihan seperti itu, ternyata jauh lebih banyak mahasiswa yang memilih topik penelitian biologi murni. Sebenarnya itu tidak menjadi persoalan seandainya bekal kemampuan melakukan penelitian pendidikan telah mereka miliki. Namun, jika tidak, wajar apabila kelak mereka akan menghadapi dilema. Ketika terjun sebagai guru mereka tidak punya bekal kemampuan cukup untuk melakukan penelitian pendidikan, sementara untuk melakukan penelitian dasar fasilitas dan kesempatan amat terbatas.

Untuk lebih mengembangkan spesialisasi, menurut penulis, lembaga pendidikan guru perlu lebih mengutamakan penelitian pendidikan dalam pembekalan kemampuan meneliti bagi mahasiswa. Targetnya adalah bahwa setiap sarjana pendidikan yang dihasilkan, lewat jalur skripsi ataupun tidak, mampu melakukan penelitian pendidikan. Untuk skripsi, bidang penelitian dapat lebih bebas asalkan pembekalan kemampuan meneliti bidang pendidikan sudah berjalan sebagaimana mestinya. Apabila program skripsi masih menjadi andalan utama dalam rangka pelatihan penelitian bagi mahasiswa, perlu dipertimbangkan untuk lebih mengutamakan skripsi bidang pendidikan.

Penelitian pendidikan umumnya termasuk dalam penelitian terapan, yaitu penelitian untuk mengembangkan generalisasi yang berkenaan dengan proses belajar mengajar dan bahan pengajaran. Penelitian dalam dunia pendidikan diarahkan untuk menghasilkan pengertian yang semakin baik terhadap individu subyek didik (siswa), semakin memahami proses belajar mengajar, dan semakin mengetahui situasi dan kondisi yang bisa membuat proses pendidikan lebih berhasil (Best, 1977).

Belakangan, berkembang bentuk khusus penelitian terapan yang disebut penelitian tindakan, yang bertujuan mencari suatu dasar pengetahuan praktis untuk bertindak memperbaiki suatu situasi secara terbatas. Penerapannya dalam dunia pendidikan, berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK), difokuskan untuk memperbaiki atau menyempurnakan praktek-praktek pendidikan dan pengajaran pada suatu waktu dan di tempat tertentu. Sebagai orang yang paling tahu dan paling merasakan masalah apa yang dihadapi sehubungan dengan proses belajar mengajar yang dilaksanakan dan bahan pengajaran yang dipergunakan, guru adalah personil utama dalam penelitian tindakan untuk mengatasi masalah itu. Melihat manfaat PTK dan peran guru di dalamnya, kemampuan melakukan PTK tampaknya pantas untuk dijadikan sebagai kemampuan penelitian standar seorang guru lulusan LPTK.

Meskipun demikian, menurut sebagian pakar penelitian penelitian tindakan tidak memenuhi kualifikasi sebagai suatu penelitian sesungguhnya karena tidak memungkinkan generalisasi. Pengertian penelitian ditekankan pada pengembangan generalisasi, prinsip, dan teori, sehingga hasilnya memiliki nilai deskripsi dan prediksi. Penelitian tindakan tidak memenuhi kriteria itu. Karena generalisasi penting bagi pengembangan ilmu, penelitian yang tidak mengembangkan generalisasi sulit diharapkan berperan penting dalam pengembangan ilmu. Karena itu, apabila penyusunan skripsi dimaksudkan untuk menggembleng mahasiswa pilihan agar menjadi ilmuwan yang mampu berperan bagi pengembangan ilmu, maka PTK belum cocok untuk dipilih sebagai salah satu bentuk penelitian skripsi. Namun, kalau skripsi hanya dipandang sebagai penuntasan pelatihan penelitian standar bagi semua mahasiswa, PTK tidak jadi masalah. Hanya saja, kalau demikian barangkali ada baiknya istilah skripsinya diubah menjadi ‘tugas akhir’ yang lebih luwes dan mencakup.

Yang jelas, karena tuntutan pengembangan profesi mengharuskan para guru untuk menyusun karya ilmiah yang didasari penelitian, adalah tugas LPTK sebagai lembaga pencetak guru untuk membekali lulusannya dengan kemampuan untuk itu. Kalau ada keluhan, padepokan inilah yang pertama-tama harus ditoleh. Bagi penulis, ini memang ibarat menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Biarlah, demi kemajuan pendidikan di daerah dan negara kita. Semoga bermanfaat.

 

 (Drs. Abdul Gafur, M.Si. tenaga pengajar di Pendidikan Biologi FKIP Unlam)


BANJARMASIN POST 12 JANUARI 2002