:: Kompas Cyber Media ::

[::] Portal Berita Daerah [::]

BUGAR BELI@ HOBIS Bursa Profesional Diafragma Ayo Belajar PASAR INTECH

Berita Cetak
Berita Utama
Banjar Bungas
Banjarmasin
Balikpapan
Palangka Raya
Hukum&Kriminal

Ekonomi
Nasional
Internasional
Olahraga
Opini
Berita Kemarin
Info Data & Media
Banjarmasin Post
Susunan Redaksi

Pasang Iklan
Order Cetak
Berlangganan
Supporting By

Sabtu, 08 Maret 2003 02:28


Harun Yahya Belum Final
Oleh Abdul Gafur

Tulisan ini menanggapi tulisan Zulfa "Manusia Kera dan Teori Darwin" (BPost 11-2-2003). Kebetulan sehari setelah tulisan itu muncul, 12 Februari, adalah hari ulang tahun Charles Darwin yang ke-194, seandainya ia masih hidup.

Yang selama ini memprihatinkan saya adalah pandangan sebagian anggota masyarakat kita bahwa teori evolusi (teori Darwin) adalah teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Saya percaya Zulfa tidak termasuk yang demikian, walaupun hampir di seluruh bagian tulisannya ia membahas tentang asal-usul manusia.

Representasi keliru tentang teori evolusi tadi berpengaruh terhadap cara banyak agamawan [Islam] kita berbicara tentang evolusi. Dengan berbagai argumen dan dalil, mereka berusaha menggugurkan teori evolusi. Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi adalah mereka berusaha menyanggah bagian kecil dari teori evolusi: bahwa manusia pun adalah produk evolusi. Mereka mungkin lupa (atau tidak tahu?) bahwa teori evolusi dimaksudkan berlaku untuk semua jenis (spesies) makhluk hidup, bahwa manusia hanyalah satu dari sekitar 1,5 juta spesies yang ada di bumi saat ini (malah ada yang menaksir sampai 50 juta spesies!).

Itulah sebabnya saya belakangan ini agak malas berbicara tentang evolusi manusia. Baiklah, kita anggap saja dulu bahwa spesies manusia memang tidak terbentuk melalui proses evolusi. Akan tetapi, bagaimana dengan 1.499.999 (atau 49.999.999) spesies yang lain? Apakah sebuah teori lantas runtuh hanya oleh perkecualian sebesar 0,0000007%?

Dalam Seminar Menggugat Teori Darwin beberapa bulan yang lalu, saya pernah menyampaikan jurus yang pasti ampuh untuk mematahkan teori evolusi. Caranya adalah mementahkan semua bukti yang dikatakan mendukung teori itu dan menyodorkan fakta lain yang membantah evolusi. Sekarang saya tambahkan jurus lain, yaitu pergunakan argumen dan dalil yang menyangkut semua makhluk hidup, atau setidaknya sebagian besar makhluk hidup, tidak hanya manusia.

Salah seorang antievolusionis yang membahas evolusi sebagaimana yang saya maksud tadi adalah Harun Yahya. Bukunya The Evolution Deceit yang diterjemahkan menjadi Keruntuhan Teori Evolusi, setahu saya adalah yang terbaru saat ini di Indonesia. Saya yakin buku itu menjadi rujukan penting antievolusionis di negara kita, bahkan juga dipakai oleh sebagian pengajar biologi di sekolah.

Buku itu menyajikan sejumlah argumen yang, terus terang, ketika pertama membacanya saya akui cukup masuk akal. Saya pikir, jika Anda hanya membaca buku itu, niscaya Anda akan sependapat dengan pikiran penulisnya. Apalagi jika Anda sebelumnya memang sudah antievolusi.

Asal Usul Kehidupan

Harun Yahya sangat mengeksploitasi ketidakmampuan teori evolusi menjelaskan asal usul kehidupan. Ia sangat menekankan kompleksitas struktur sel. Sel yang paling sederhana pun memang terdiri atas mekanisme yang amat kompleks.

Menurutnya, agar dapat berfungsi, sel pertama di bumi haruslah sudah berupa sel yang utuh dan lengkap. Karena itu, sel pertama tidak mungkin terbentuk melalui proses bertahap dari sederhana (belum sempurna) menjadi lebih dan lebih kompleks hingga menjadi sel sempurna. Sel yang belum sempurna itu tidak bisa hidup dan berfungsi. Teori evolusi yang mengatakan demikian hanyalah bualan yang tidak masuk akal. Kemustahilan proses seperti itu terjadi, menurutnya, sama dengan mustahilnya terjadi sebuah buku dari ledakan sebuah kantor percetakan.

Apa yang diutarakan Harun Yahya tadi memang ada benarnya. Tidak ada satupun ilmuwan yang bisa membuktikan dan yakin sepenuhnya bahwa makhluk hidup pertama, yang berupa sel purba, terbentuk secara bertahap dari pergabungan materi anorganik pada kondisi bumi purba. Semua hanya dugaan. Akan tetapi, apakah itu berarti teori evolusi telah runtuh?

Mark Isaak (1998) mengatakan bahwa teori evolusi tidak tergantung pada bagaimana kehidupan pertama muncul. Dalam bahasa saya, "origin of species" tidak sama dengan "origin of life". Teori evolusi tidak menyangkut bagaimana makhluk hidup pertama muncul, ia hanya membicarakan perubahan yang terjadi pada makhluk hidup pertama yang sudah terbentuk itu hingga sekarang dan yang akan datang. Teori asal usul kehidupan yang dibantah habis-habisan oleh Harun Yahya tadi adalah teori yang disebut abiogenesis. Menurut Isaak, benar tidaknya teori abiogenesis tidak akan berpengaruh terhadap teori evolusi.

Bukti

Menurut Harun Yahya tidak ada bukti sama sekali bahwa evolusi telah terjadi. Ia mencontohkan varietas-varietas anjing yang katanya juga dipakai sebagai contoh oleh Darwin dalam bukunya "The Origin of Species". Semua itu, menurutnya, hanyalah variasi genetik. Variasi itu hanyalah hasil aneka kombinasi informasi genetik yang sudah ada, dan tidak ada karakteristik baru pada informasi genetik itu. Sebanyak apapun varietas dalam spesies anjing, yang terbentuk secara alami ataupun hasil persilangan, mereka semua tetap saja anjing. Tidak pernah terbentuk spesies baru (yang bukan anjing) dari anjing. Perubahan seperti itu memerlukan penambahan informasi genetik, dan penambahan itu tidak mungkin terjadi dalam variasi.

Sehubungan dengan fosil, Harun Yahya menekankan betapa catatan fosil bukannya mendukung teori evolusi, tetapi malah membantahnya. Menurutnya, jika memang terjadi perubahan dari satu spesies menjadi spesies lain, tentu ada bentuk peralihannya. Melihat banyaknya spesies makhluk yang ada, apalagi yang pernah ada, tentu bentuk peralihan itu juga sangat banyak, bahkan lebih banyak dari jumlah spesies yang ada sekarang. Yang lebih penting, bentuk transisi itu pastilah terdapat pada catatan fosil di seluruh penjuru dunia. Kenyataannya, menurutnya, tidak satupun bentuk transisi ditemukan, dan semua fosil yang ditemukan justeru membuktikan bahwa kehidupan muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam bentuk yang telah lengkap.

Akan tetapi, ternyata beberapa pengertian tentang variasi yang dianut oleh Harun Yahya berbeda dengan yang dikemukakan oleh evolusionis. Volpe (1985) mendefinisikan evolusi sebagai perubahan komposisi genetik suatu populasi dalam perjalanan waktu. Selanjutnya, evolusi dibagi menjadi mikroevolusi dan makroevolusi. Mikroevolusi adalah perubahan frekuensi gen dalam sebuah populasi lokal, sedangkan makroevolusi adalah transformasi utama organisme dalam waktu geologi. Kemudian, variasi genetik didefinisikan sebagai perbedaan genetik di antara anggota-anggota sebuah populasi (Griffith et al., 1996).

Jadi, yang dimaksud oleh Harun Yahya dengan variasi genetik itu ternyata oleh evolusionis disebut mikroevolusi. Dengan demikian, dalam pandangan evolusionis, karena antievolusionis seperti Harun Yahya mengakui adanya variasi genetik (menurut definisi antievolusionis) sebenarnya mereka mengakui adanya mikroevolusi.

Mengenai makroevolusi, evolusionis mengakui bahwa memang tidak pernah ada yang mengamatinya secara langsung. Apakah itu lantas berarti bahwa makroevolusi tidak pernah terjadi? Evolusionis justeru yakin akan terjadinya. Alasannya, ada petunjuk kuat yang mengindikasikan bahwa makroevolusi memang terjadi (Duck, 1998).

Di antara petunjuk itu (Colby, 1996) adalah persamaan yang amat besar di antara semua makhluk hidup dalam hal materi genetik, yakni DNA. Hanya ada 4 macam nukleotida, dan hanya ada 64 kodon yang menyandikan 20 macam asam amino untuk semua makhluk hidup (dengan sedikit sekali perkecualian). Semua kenyataan itu mustahil terjadi apabila spesies-spesies makhluk hidup terbentuk sendiri-sendiri. Penjelasan yang jauh lebih masuk akal adalah bahwa itu terjadi karena spesies-spesies berasal dari moyang yang sama. Dari spesies moyang yang sama terbentuk berbagai spesies yang lain, itulah [makro]evolusi.

Isaak membantah keras bahwa tidak ada fosil transisi, dan mengatakan bahwa sejak zaman Darwin telah ditemukan ribuan fosil transisi. Diakuinya bahwa catatan fosil memang masih "belang-kambingan", dan akan selalu demikian akibat erosi dan jarangnya tercapai kondisi yang cocok untuk pemfosilan. Di samping itu, transisi mungkin terjadi di populasi kecil, di kawasan yang sempit, dan/atau dalam jangka waktu yang relatif amat pendek, yang semuanya memperkecil kemungkinan mendapatkan fosil transisi.

Selain itu, ungkap Duck (1998), paleontologiwan (ahli fosil) kesulitan untuk menetapkan apa yang disebut peralihan. Dicontohkannya, ada 10 marble yang bergradasi dari hitam sampai putih. Kesepuluh buah itu harus dikelompokkan menjadi 3 kelompok (A, B, C). Namun, lantas ada yang menuding bahwa tidak ada intermediat antara A dan B. Lagi pula, pengelompokan oleh orang yang berbeda bisa memberi hasil yang berbeda pula. Begitu juga dengan fosil transisi. Yang disebut peralihan oleh seseorang (evolusionis) bisa saja dikatakan bukan peralihan oleh yang lain (antievolusionis).

Bukan maksud saya untuk mengajak pembaca menjadi evolusionis. Saya sudah cukup puas jika pembaca jadi menyadari bahwa perdebatan mengenai evolusi masih terus berlangsung hingga sekarang. Bagi yang sudah membaca buku Keruntuhan Teori Evolusi (dan sependapat dengan Harun Yahya penulisnya), dapat saya katakan bahwa banyak isi buku itu yang masih bisa dijawab oleh evolusionis.

Abdul Gafur
Dosen PS Biologi FMIPA Unlam


Copyright © 2003 Banjarmasin Post


O P I N I
Sastra Dari Bahasa Yang Rapuh

Harun Yahya Belum Final


Surat Terbuka Untuk Kadinkes Kotabaru Dan Kalsel


SURAT PEMBACA


TAJUK: Jangan Ada Korban


Banjarmasin Post Group Jl Haryono MT 143/54 Banjarmasin 70129 Phone: +62-511-54370 Fax: +62-511-66123