KAMPANYE DI KAMPUS

Oleh: Abdul Gafur

 

            Pemilu sudah di ambang pintu. Salah satu wacana terkait yang sempat hangat dibicarakan adalah kampanye di kampus. Petinggi Unlam (BPost 21 Juli 2003) telah menyatakan bahwa kampusnya terbuka bagi kampanye kontestan pemilu, walaupun sebagian mahasiswa tidak setuju. Sementara itu, pemimpin sebagian PTS cenderung enggan membuka pintu lembaganya bagi kampanye (BPost 22 Juli 2003), yang ternyata juga mengundang tanggapan miring dari sebagian warganya (BPost 28 Juli 2003).

            Keputusan untuk memperbolehkan kampanye di kampus memang memerlukan pertimbangan yang matang mengenai untung ruginya. Yang cenderung menolak mengemukakan alasan seperti kemungkinan rusaknya kenetralan kampus, ketidaksesuaian dengan jiwa kampus sebagai wahana akademis, selain manfaat yang tidak jelas. Yang mendukung melihat kemungkinan manfaat kampanye di kampus misalnya sebagai wahana pendidikan politik bagi mahasiswa, pembekalan bagi caleg, serta cara untuk mendokumentasikan dan pada suatu saat menagih janji parpol dan caleg. Penulis melihat satu lagi manfaat kampanye di kampus, yakni sebagai wahana penanaman dan pelatihan sikap ilmiah, khususnya bagi mahasiswa.

 

Kampanye ilmiah

Semua sependapat bahwa kampanye di kampus, kalau memang dilaksanakan, haruslah dalam bentuk dialog, seminar, dan diskusi yang sesuai dengan etika akademis. Itu berarti proses yang berlangsung harus kental dengan nuansa ilmiah, sebagaimana layaknya sebuah pertemuan ilmiah. Prinsip ini harus ditaati oleh semua yang hadir, para wakil partai dan caleg maupun sivitas akademika.

            Ilmiah berarti berkaitan dengan atau menerapkan metodologi keilmuan (American Heritage Dictionary, 1996) yang biasa dikenal sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah sendiri pada dasarnya adalah perpaduan antara rasionalisme dan empirisme, antara rasio dan pengalaman, antara penalaran deduktif dan induktif (Suriasumantri, 1990). Biasanya metode ilmiah dideskripsikan terdiri atas 4 langkah: masalah, hipotesis, pengujian hipotesis, dan kesimpulan. Kampanye ilmiah di hadapan masyarakat ilmiah sudah barang tentu harus dijiwai oleh langkah-langkah tadi, walaupun mungkin tidak bisa seutuhnya.

            Masalah dalam metode ilmiah harus nyata, bukan hasil mengada-ada. Masalah itu juga harus penting, artinya memang perlu untuk dipecahkan. Berdasarkan hal itu, program yang disodorkan oleh parpol lewat juru kampanyenya haruslah dilatarbelakangi oleh masalah tertentu yang penting dan memang benar-benar ada di masyarakat. Program yang ditawarkan haruslah merupakan jawaban terhadap masalah yang nyata dan penting itu.

Karena merupakan jawaban terhadap masalah, program dapat dianggap sebagai sebuah hipotesis. Hipotesis yang baik harus ditopang oleh kerangka teoretis yang kuat. Kerangka itu dibangun dari teori yang sudah ada dan fakta empiris yang ditemukan dalam kajian terdahulu. Begitu pula dengan program yang diajukan oleh kontestan pemilu. Program itu harus dapat secara deduktif ditunjukkan sebagai jawaban yang paling masuk akal terhadap masalah yang dihadapi. Selain itu, program itu haruslah diperhitungkan dapat dilaksanakan (feasible) pada kondisi yang ada dan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Di sini akan terlihat mana janji yang masuk akal dan mana yang terlalu muluk hanya sekedar untuk mengambil hati.

            Tahap selanjutnya, yakni pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan, belum bisa dilakukan. Sehubungan dengan program, belum bisa dilihat apakah program itu benar-benar bisa menjawab masalah sebab memang program itu sendiri belum dilaksanakan. Meskipun demikian, sebagaimana hipotesis, program yang disusun dengan kerangka teoretis kuat mempunyai kemungkinan yang besar untuk terlaksana dan mencapai sasaran.

            Kampanye yang ilmiah harus menyampaikan program yang ilmiah, dan parpol beserta juru kampanyenya bertanggung jawab penuh untuk itu. Di lain pihak, tanggapan pun harus disampaikan secara ilmiah. Di sinilah para dosen dan pimpinan lembaga berkesempatan untuk memberikan teladan yang terbaik kepada para mahasiswanya dalam hal sikap ilmiah. Di sini pula mahasiswa dan siapapun yang hadir dituntut untuk dapat mengendalikan gejolak idealismenya. Sikap kritis dan skeptis harus bisa dipadukan dengan sikap rasional dan tidak emosional.

            Diskusi ilmiah di kampus bisa diadakan kapan saja, bahkan yang mengundang pimpinan parpol atau anggota legislatif sekalipun. Namun, dialog ilmiah dalam suasana politik yang sangat kental, yang sangat berpotensi untuk memanas akibat dendam politik dan penagihan janji di satu sisi serta tuntutan perolehan suara di sisi lain, sungguh hanya ada menjelang pemilu. Ibarat ujian SIM, ini adalah ujian di jalan raya, bukan lagi sekedar di halaman Poltabes. Kesempatan pendidikan ilmiah yang langka semacam ini, yang cuma lima tahun sekali,  terlalu bernilai untuk dilewatkan begitu saja oleh warga kampus.

 

Jangan Jual Mahal

            Meskipun mungkin ada manfaat yang lain, keuntungan yang pasti diincar oleh parpol dan caleg melalui kampanye di kampus tentunya adalah perolehan suara. Persoalannya sekarang apakah keuntungan yang diincar tadi bakal diraih? Apakah perguruan tinggi dapat memberikan jaminan bahwa apabila penampilan parpol dan caleg dalam kampanye di kampus baik, maka perolehan suara akan terdongkrak?

            Rektor Unlam jauh hari menyatakan tidak menjamin bahwa, ketika salah satu kontestan pemilu mengadakan kampanye di kampus Unlam, sivitas akademika pasti berbondong-bondong hadir. Kehadiran pimpinan dan warga kampus bersifat sukarela, dan itu pun tidak boleh sampai mengganggu proses belajar mengajar. Nah, kalau jaminan kehadiran saja tidak ada, tentu jaminan perolehan suara dari warga Unlam lebih tidak ada, dan lebih jauh lagi jaminan perolehan suara dari warga masyarakat.

            Padahal, para juru kampanye yang akan tampil di kampus tentu harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Apalagi seandainya parpol mesti membayar sewa fasilitas sekian [puluh] juta agar tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatakan bahwa fasilitas pendidikan termasuk yang tidak boleh dimanfaatkan dalam kampanye.

            Sebandingkah modal yang harus dikeluarkan dengan keuntungan yang bakal diperoleh? Sebelumnya, mungkin perlu dipertanyakan dulu apakah memang ada keuntungan yang bakal didapat oleh parpol dan caleg dari kampanye di kampus. Uang 10 juta, misalnya, bisa dipakai untuk memberikan uang saku Rp10.000 kepada seribu massa yang hadir dalam kampanye umum di lapangan terbuka. Sementara kalau mengadakan kampanye di kampus, dengan biaya yang sama, dihadiri lima puluh orang saja belum tentu. Belum lagi risiko diobok-obok dan dipermalukan.

            Sebaliknya, apa ruginya kalau parpol dan caleg tidak berkampanye di kampus dan memusatkan sumberdayanya untuk menarik simpati masyarakat umum yang berjumlah jauh lebih besar? Karena dari segi perolehan suara tidak ada bedanya coblosan rektor atau mahasiswa dengan coblosan tukang becak, partai yang didukung oleh seluruh warga kampus sudah pasti kalah dari partai yang didukung oleh warga luar kampus.

            Mengingat manfaat penting yang bisa diraih, sudah sewajarnyalah pihak perguruan tinggi sendiri berusaha menarik kontestan agar mau masuk ke kampusnya. Kampus harus bisa meyakinkan parpol dan caleg bahwa, meskipun berat, kampanye di kampus akan memberikan manfaat besar jangka panjang maupun pendek bagi mereka. Sebaliknya, yang ‘ogah’ tampil di kampus akan rugi besar.

Memang, kampus tidak bisa menjanjikan keuntungan berupa suara dari seluruh warganya. Kalaupun itu bisa dicapai, jumlah warga kampus tidaklah seberapa. Berharap efek berantai seperti di zaman orde baru, bahwa apabila si bapak seorang PNS dan wajib memilih satu kontestan, maka seluruh anggota keluarga pun harus mengikutinya, jelas mustahil di era reformasi sekarang.

Namun, perguruan tinggi bisa berjanji untuk memaparkan kepada masyarakat luas penilaian yang objektif terhadap program yang disampaikan oleh kontestan. Dengan asumsi bahwa kampus masih bisa menjadi panutan masyarakat, penilaian objektif dan ilmiah tadi tentu akan diperhatikan oleh warga masyarakat dalam menentukan pilihan. Semakin tinggi kredibilitas sebuah perguruan tinggi, meskipun warganya tidak seberapa banyak, semakin ‘berwibawa’ suaranya, dan semakin besar keinginan kontestan pemilu untuk dinilai olehnya.

Kelihatannya memang seperti berjaja. Namun, kalau memang ingin dibeli dan mendapat keuntungan, mengapa tidak mau menawarkan? Semoga kampanye di kampus, kalaupun dilaksanakan, lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.

 

ABDUL GAFUR

Dosen PS Biologi FMIPA Unlam

BANJARMASIN POST (18 DESEMBER 2003)