KELUHAN EVOLUSIONIS DAN ANTIEVOLUSIONIS

Oleh: Abdul Gafur

 

 

            Teori evolusi suka tidak suka harus diakui sebagai salah satu teori yang paling berpengaruh sekaligus yang paling kontroversial yang pernah diajukan dalam sejarah peradaban manusia. Banyak yang menyetujuinya tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya.

            Dalam perdebatan antara evolusionis dan antievolusionis, masing-masing pihak telah merasa mengajukan argumen yang sangat kuat disertai bukti yang sangat jelas. Namun, masing-masing juga merasa bahwa seterunya tidak pernah mau mengerti, seolah buta akan bukti dan fakta yang diajukan. Di antara keluhan yang sama-sama disampaikan kedua belah pihak adalah bahwa media dan dunia pendidikan bertindak tidak adil dengan selalu membantu pihak lawan.

 

Keluhan

            Para antievolusionis mengeluhkan bagaimana media telah sangat tidak adil memperlakukan mereka. Sebagai contohnya, Harun Yahya menyebut Scientific American, Focus, Nature, National Geographic yang merupakan majalah paling bergengsi di bidang sains. Media terkemuka tadi dikatakan sangat kentara mengambil teori evolusi sebagai ideologi resmi dan berusaha menyajikannya seolah-olah merupakan fakta yang telah terbukti kebenarannya. Kemudian, beritanya tidak jarang dikutip oleh media lokal, sehingga dianggap memaksakan pandangan evolusionis kepada masyarakat. Begitu efektifnya pemaksaan itu, katanya, sehingga masyarakat memandang bahwa evolusi memang sudah diterima luas di dunia ilmu pengetahuan. Artinya, yang menolaknya akan dianggap ketinggalan, buta ilmu pengetahuan.

            Keluhan serupa ditujukan pula kepada sumber-sumber ilmiah seperti ensiklopedia dan buku-buku biologi. Sumber-sumber itu menyajikan pembahasan tentang evolusi seolah memang fakta yang takterbantah lagi. Konsep evolusi diajarkan dari sekolah hingga perguruan tinggi. Para siswa/mahasiswa dicekoki dengan konsep evolusi, sehingga mereka tergiring untuk menerimanya sebagai kenyataan yang mesti diakui oleh setiap orang yang mau berpikir waras.

            Sementara itu, keluh antievolusionis, kalau mereka ingin mempublikasikan buah pikirannya, sulitnya bukan main untuk menembus media bergengsi tadi. Penerbit terkemuka kurang bernafsu untuk menerbitkan buku tulisan mereka. Kalaupun buku mereka terbit, perpustakaan sepertinya enggan mengoleksinya. Konsep yang mereka pegang teguh tidak diajarkan di bangku sekolah/kuliah. Kalaupun ada sedikit pembahasan tentang pemikiran mereka, itu dilakukan dengan nada yang jelas-jelas merendahkan setelah dipertentangkan dengan gagasan evolusi. Ringkas kata, teriakan mereka hanya terdengar lamat-lamat dan itupun dengan mudah tersapu deru angin yang sebenarnya cuma sepoi-sepoi. 

            Di lain pihak, para evolusionis juga punya keluhan. Mereka mengelus dada melihat bagaimana meluasnya miskonsepsi tentang evolusi di masyarakat, tidak terkecuali di kalangan anggota masyarakat ilmiah yang antievolusi. Menurut mereka banyak tentangan terhadap teori evolusi yang didasarkan atas miskonsepsi, sehingga argumen yang diajukan rapuh atau tidak relevan. Akan tetapi, mereka mengakui turut bersalah atas miskonsepsi itu. Semua itu, katanya, menandakan bahwa evolusionis belum mampu membuat masyarakat memahami teori evolusi yang sebenarnya.

            Salah satu alasan yang dikemukakan untuk miskonsepsi tadi adalah bahwa informasi yang disampaikan tidak dapat menjangkau khalayak banyak. Apa dan bagaimana teori evolusi telah diuraikan dengan panjang lebar di buku-buku ajar. Sayangnya, khalayak umum enggan menyentuhnya, sehingga mereka tidak bisa memperoleh gambaran sebenarnya tentang teori evolusi. Mungkin karena bahasanya yang terlalu ‘njelimet’. Mengenai bahasa ini, evolusionis berdalih bahwa memang teori evolusi modern adalah sintesis dari konsep-konsep modern dalam bidang sains, sehingga mau tidak mau pembahasannya tidak bisa lepas dari bahasa sains yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang ‘melek’ sains. Tidak mudah, katanya, menguraikan konsep evolusi seutuhnya dalam bahasa populer. Karena itu, siapa saja yang mau tahu tentang evolusi harus mau membaca textbook [biologi].

            Mengenai media, evolusionis juga punya keluhan. Memang benar terbitan ilmiah paling bergengsi sepemikiran dengan mereka. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa majalah-majalah itu, setidaknya karena kendala bahasa yang terlalu teknis, tidak dapat menjangkau kalangan awam yang justeru adalah bagian terbesar dari masyarakat. Popularitas majalah ilmiah jauh di bawah majalah atau tabloid untuk umum yang justeru lebih mudah dimasuki oleh pandangan antievolusi, apalagi yang dipoles ajaran agama atau filsafat.

 

Di Kita

            Saya tidak punya data tentang kondisi di Indonesia. Namun untuk di daerah kita, saya sedikit banyak punya gambaran, walaupun itu bukan hasil penelitian. Saya cukup yakin, itu juga terlihat setidaknya di sebagian daerah lain di negara kita.

Di Indonesia majalah ilmiah untuk umum amat sulit untuk hidup. Masalah utamanya agaknya adalah minat baca masyarakat yang masih rendah, khususnya terhadap bacaan bidang sains. Majalah-majalah ilmiah terkemuka di dunia yang disebut di atas bisa dikatakan tidak terjangkau oleh khalayak umum.  Masalahnya, selain minat baca, adalah bahasa asingnya dan harganya yang terlalu tinggi bagi kebanyakan kita. Kalaupun ada pembeli atau pelanggannya, biasanya itu adalah perpustakaan di perguruan tinggi atau lembaga penelitian, yang umumnya tidak terbuka untuk umum. Kalaupun dibuka untuk umum, masyarakatlah yang justeru enggan menyentuhnya. Masalah serupa juga dihadapi oleh buku ajar biologi.

            Masyarakat kita kelihatan jauh lebih tertarik kepada media cetak untuk umum. Karena memang sebagian besar isinya adalah untuk konsumsi umum, bahasanya diusahakan mudah ditangkap oleh pembaca yang berpendidikan minimum. Media bernuansa agama adalah salah satu yang digemari oleh masyarakat kita yang memang religius. Nah, media semacam ini lebih mudah untuk digandeng oleh para antievolusionis religius. Dengan dalil-dalil dari kitab suci yang mereka sisipkan, argumen mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Beberapa judul buku tentang evolusi memang ada di pasar. Sepengetahuan saya, umumnya adalah terjemahan. Evolusi Ruhani (Osman Bakar), Keruntuhan Teori Evolusi (Harun Yahya),  Asal Usul Manusia menurut Bibel Al-Quran Sains (Maurice Bucaille), dan Masalah-Masalah Evolusi (Mark Ridley) adalah yang sempat saya temui.  Dua judul pertama ditulis oleh antievolusionis, dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh penerbit Mizan dan Dzikra, yang biasa menerbitkan buku keagamaan. Bucaille bukan antievolusionis, tetapi terjemahan bukunya diterbitkan pula oleh Mizan. Saya menduga itu karena buku Bucaille selain ilmiah juga sangat menyangkut agama dan menentang darwinisme. Ketiga buku tadi saya lihat mendapat sambutan yang sangat baik di daerah kita. Sementara buku  Ridley, seorang evolusionis tulen, yang berusaha menguraikan konsep evolusi dan darwinisme secara utuh, sepopuler itu pulakah?

            Doktrin evolusi memang diajarkan di sekolah, khususnya SLTA. Namun, sebenarnya siswa sudah mengenal nama Darwin jauh sebelum duduk di bangku SLTA. Saya sendiri, kalau tidak salah ingat, sejak kelas 4 SD sudah mendengar tentang teori Darwin, bahkan tentang pendapat Malthus yang mendasarinya. Seingat saya, yang memperkenalkannya adalah guru agama di sekolah. Sayangnya, informasi saya terima waktu itu ternyata keliru. Bagaimana tidak, teori Darwin yang diperkenalkan kepada saya adalah teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera (monyet).

Kemudian, di SMA saya memang belajar tentang evolusi. Hasilnya, saya bisa menyebutkan definisi evolusi atau seleksi alami (natural selection). Saya memang belajar tentang, misalnya, biogeografi, fosil, dan anatomi, sebagai bukti evolusi. Namun, untuk mengaitkannya dengan evolusi sendiri saya tidak mampu. Yang lebih aneh, saya memang mampu menyebutkan definisi evolusi, tetapi hakikat evolusi itu sendiri di benak saya masih kabur. Mungkin itu karena konsep yang dulu sudah begitu dalam tertoreh di otak dan/atau pelajaran tentang evolusi sendiri waktu itu kurang berhasil menanamkan konsep yang benar mengenai evolusi. Baru setelah menjadi mahasiswa lalu dosen saya berkesempatan untuk mengoreksinya sendiri.

            Apa yang saya alami tadi, saya yakin, juga berlaku bagi banyak orang lain. Cobalah tanyakan kepada kawan yang sudah lulus SLTA (IPA), “apakah teori Darwin itu?”. Bahkan lulusan perguruan tinggi pun, termasuk yang dari ilmu-ilmu hayati, masih banyak yang tidak paham betul tentang evolusi. Celakanya, miskonsepsi juga ditemukan pada sebagian lulusan perguruan tinggi keguruan biologi, yang suatu saat mengajarkan evolusi kepada siswa. Bisa diperkirakan bagaimana berat hatinya mereka mengajar tentang evolusi dan bisa diprediksikan bagaimana hasil pembelajarannya.

            Jadi, di antara keluhan evolusionis dan antievolusionis, yang lebih terlihat di daerah (negara?) kita saat ini agaknya adalah yang diutarakan oleh evolusionis. Yang disebut sebagai andalan para evolusionis untuk menyampaikan argumennya, yaitu majalah ilmiah, tidak dapat menjangkau apalagi mempengaruhi masyarakat banyak. Sebaliknya, media yang dipakai oleh antievolusionis justeru lebih mudah menyentuh dan mempengaruhi khalayak umum. Penerbit, apapun alasannya (idealisme ataupun bisnis), lebih suka menerbitkan buku antievolusi. Dunia pendidikan (menengah, bahkan perguruan tinggi) tidak terlalu ampuh, walau hanya sekedar dalam ranah kognitif, untuk memahamkan siswa/mahasiswa tentang evolusi. Jauh lagi sampai mengubah sikap/pandangan mereka (afektif).

Sementara itu, pandangan antievolusi, karena bisa masuk lebih awal di pendidikan dasar (walaupun tidak secara resmi karena tidak dituntut oleh kurikulum), berbekas dalam dan dapat membuat tabir yang sulit ditembus oleh konsep evolusi yang diajarkan secara setengah hati atau tidak profesional. Tambahan lagi, paham antievolusi (dan anti-Darwin) bisa dengan mudah memanfaatkan jalur ceramah agama di musholla, masjid, dan majelis ta'lim, yang pengaruhnya bisa amat kuat terhadap masyarakat kita dan akhirnya membentuk sikap apriori terhadap evolusi.

            Padahal, tidakkah mestinya kita terlebih dulu menjadi pengamat yang baik, yang merasa perlu memahami seutuhnya pikiran kedua belah pihak, sebelum akhirnya memutuskan berpihak ke mana?

 

Abdul Gafur

Dosen PS Biologi FMIPA Unlam