KONVERGENSI

Oleh Abdul Gafur

(BANJARMASIN POST, 9 DESEMBER 2003)

 

            Terus terang, semula penulis tidak berminat untuk nimbrung dalam soal ‘tamparan budaya’ atau istilah semacamnya yang bergulir terpicu oleh bangunan RSUD Ulin. Penulis bukanlah seorang budayawan, apalagi seorang yang menguasai tentang teori-teori dalam ilmu budaya. Baru belakangan ini ada gagasan untuk turut berbicara, itu pun menurut sudut pandang penulis sebagai orang yang terkadang bergelut dengan beberapa teori dalam biologi.

 

Sepeda Motor dan Ikan

            Pernahkah Anda memperhatikan model berbagai sepeda motor keluaran terakhir? Kalau hanya selintas, rasanya akan sulit untuk menentukan mereknya karena memang sangat mirip satu dengan yang lain. Mungkin ada pembaca yang mengatakan bahwa bisa saja yang satu meniru yang lain. Akan tetapi, melihat kenyataan nyaris berbarengannya keluar model-model baru (yang mirip) dari berbagai merek, khususnya merek ‘paten’ seperti Honda, Yamaha, dan Suzuki, agaknya sulit dipercaya bahwa ada yang meniru yang lain. Sulit bagi peniru untuk bisa muncul bersamaan dengan yang ditiru.

            Hal serupa ditemukan pula di antara ikan di lautan. Bentuk umumnya serupa, yakni berpola garis arus (stream line). Bahkan lumba-lumba yang secara biologis dianggap bukan ikan, melainkan hewan menyusui (mamalia), juga ikut-ikutan berbentuk seperti kebanyakan ikan. Jelas tidak mungkin lumba-lumba meniru ikan, meskipun di dalam biologi diyakini bahwa ikan lebih dulu ada daripada lumba-lumba.

            Kembali ke sepeda motor. Personil divisi litbang di tiap-tiap pabrik sepeda motor terkemuka tentu bekerja keras merancang model terbaik untuk keluaran terbaru. Bahwa hasil rancangan pabrik yang berbeda ternyata mirip, tentunya itu di luar kesengajaan. Setelah memperhitungkan berbagai faktor yang dapat memperlancar jalannya sepeda motor, para perancang di pabrik Honda mengambil kesimpulan mengenai rancangan bentuk yang terbaik. Akan tetapi, pada saat yang kurang lebih sama, para perancang di pabrik Yamaha secara independen sampai kepada kesimpulan yang serupa dengan itu. Itu pula yang disimpulkan perancang Suzuki.

            Begitu pula dengan ikan yang harus mampu beradaptasi dengan kehidupan di air. Di antara adaptasi yang harus diadakan adalah bentuk tubuh yang memungkinkan pergerakan yang efisien di air. Sebagian besar akhirnya sampai kepada kesimpulan yang sama, yakni bentuk pipih lateral dengan kedua ujung melancip. Secara independen, mamalia air, seperti lumba-lumba, mencapai kesimpulan serupa.

            Contoh-contoh di atas menggambarkan bahwa berbagai pihak ketika menghadapi tuntutan yang sama bisa secara independen sampai kepada kesimpulan jalan keluar yang sama. Di dalam biologi, kelompok makhluk hidup yang harus beradaptasi di lingkungan yang serupa bisa secara independen memiliki ciri-ciri yang serupa, seperti antara ikan dan lumba-lumba atau antara belut dan ular. Inilah yang disebut sebagai konvergensi. Konsep ‘secara independen’ perlu ditekankan karena bisa saja kesamaan ciri di antara kelompok-kelompok terjadi karena andil kedekatan hubungan kekerabatan, seperti antara ikan haruan dan tauman.

            Ada hal penting yang perlu dicatat mengenai adaptasi. Adaptasi berlangsung agar makhluk hidup dapat bertahan hidup dengan nyaman di lingkungannya. Hanya saja, kondisi lingkungan bisa berubah. Apabila kondisi lingkungan di sebuah kawasan berubah, suatu bentuk adaptasi yang tadinya cocok dengan kondisi kawasan itu bisa jadi tidak adaptif lagi. Konsekuensinya makhluk hidup di kawasan itu harus mengadakan bentuk adaptasi yang baru sesuai dengan kondisi yang baru. Jika tidak, pilihan yang tersedia adalah pindah tempat, hidup sengsara, atau mati.

 

Budaya

            Kebudayaan lokal masyarakat berkembang selaras dengan kondisi setempat, sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Kebiasaan yang berlaku dalam membangun rumah hanyalah salah satu contohnya.

Rumah panggung agaknya adalah jalan keluar terbaik yang bisa terpikirkan oleh leluhur kita untuk mengatasi gangguan hewan liar, dan cocok pula untuk wilayah yang sering tergenang. Kesimpulan itu ditunjang oleh kemudahan mendapatkan balok-balok kayu yang lurus dan kuat untuk tiang rumah. Selain konstruksi, ornamen rumah juga memanfaatkan sumberdaya yang banyak tersedia di lingkungan. Pendek kata, masyarakat di sekitar hutan mengembangkan kebiasaan membangun rumah yang praktis seluruhnya berasal dari produk hutan, untuk pondasi sampai atap dan ornamen. Kebiasaan yang bisa dipandang sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap kondisi alam setempat itu diwariskan kepada generasi seterusnya hingga sekarang.

Persoalan muncul ketika kondisi lingkungan mulai berubah. Ketika hutan mulai menyempit, kayu pun semakin sulit diperoleh. Kalaupun ada, harganya kian melambung. Modifikasi pun dilakukan. Mulanya kayu yang dipilih adalah yang berkualitas terbaik. Untuk tiang, misalnya, tadinya dipilih kayu ulin yang benar-benar ‘tua’, tetapi sekarang ulin ‘muda’ pun dipakai juga. Dinding yang tadinya juga dari kayu ulin terpaksa diganti dengan kayu lain dengan kualitasnya yang kian menurun. Korban berikutnya adalah rancangan dan ornamen. Bubungan yang tadinya tinggi, misalnya, dipangkas untuk menekan biaya. Pendek kata, warisan leluhur yang tadinya adalah yang terbaik, tidak lagi dipandang adaptif karena kondisi lingkungan memang sudah berubah.

Selain itu, kontak antarbudaya mau tidak mau kian intensif terjadi. Mula-mula hanya di antara budaya yang berdekatan. Namun, sejalan dengan era globalisasi yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, jarak semakin tidak menjadi persoalan. Masyarakat di berbagai belahan bumi saling belajar bagaimana masyarakat lain memecahkan masalahnya. Dari proses belajar itu mungkin diperoleh gagasan baru untuk memecahkan masalah setempat yang dihadapi. Contohnya adalah soal atap. Sirap yang tadinya berlimpah sekarang semakin mahal dan sulit diperoleh, sehingga kian tergeser oleh yang jelas-jelas produk dari luar. Contoh lain adalah dinding kayu berkualitas yang semakin tak terjangkau, sehingga kian tergeser oleh plester dan bata, dan tongkat ulin yang kian tergantikan oleh beton cor bertulang baja.

Contoh konvergensi dapat dilihat di antara masyarakat suku dayak di Kalimantan dan suku asli di Irian. Mereka sama-sama menyimpulkan bahwa rumah yang terbaik untuk mereka adalah rumah panggung. Mustahil rasanya dulu mereka bisa saling berkontak dan belajar atau meniru. Secara independen keduanya mencapai kesimpulan yang sama menghadapi kondisi lingkungan yang sama. Contoh yang murni seperti itu mungkin sudah sulit ditemukan di era globalisasi sekarang. Meskipun demikian, tidaklah mustahil apabila masyarakat yang berbeda latar belakang budaya akhirnya sampai kepada kesimpulan yang sama mengenai konstruksi atau rancangan bangunan ketika dihadapkan kepada tantangan yang sama, yakni menciptakan bangunan yang kuat, nyaman, plus murah. Itulah konvergensi.

 

Warisan terbaik

Tidak bisa dipungkiri bahwa leluhur kita telah mewariskan kepada kita kebudayaan yang terbaik yang mereka miliki. Namun, perlu diingat bahwa warisan itu sendiri adalah hasil dari proses pengembangan terus menerus selama sekian ratus atau ribu tahun. Tiap generasi mengevaluasi, dan bahkan memodifikasi, warisan yang diterimanya dari generasi pendahulunya. Tidak mustahil modifikasi itu dilakukan sebagai buah dari kontak dan belajar dengan masyarakat lain.

Karena itu, jika kita memandang bahwa kebudayaan warisan leluhur harus dilestarikan sebagaimana adanya, itu justeru pengingkaran terhadap kenyataan tadi.  Kita adalah bagian dari proses pengembangan kebudayaan itu. Kita memang mewarisi yang terbaik milik leluhur kita, tetapi yang terbaik bagi leluhur kita itu belum tentu yang terbaik untuk kita. Mungkin kita perlu memodifikasinya agar menjadi yang terbaik untuk kita, yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang ada saat ini. Selanjutnya yang terbaik bagi kita itu akan kita wariskan ke generasi penerus. Namun, tidak ada jaminan bahwa milik terbaik kita itu akan menjadi yang terbaik pula bagi anak cucu kita.  Mungkin sekali mereka perlu memodifikasinya dulu agar menjadi yang terbaik buat mereka. Demikianlah seterusnya.

 

Abdul Gafur

Dosen PS Biologi FMIPA Unlam