TULIS MENULIS DI KALANGAN AKADEMISI KITA

(Tanggapan terhadap Sdr. Jamaluddin)

 

Oleh: Abdul Gafur

 

            Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Jamaluddin atas perhatiannya yang besar terhadap kinerja para akademisi di daerah ini, khususnya dalam hal tulis menulis. Tulisannya yang bernada kritik itu justeru membangkitkan gagasan bagi saya untuk menulis. Barangkali itulah memang antara lain yang menjadi sasarannya. Sungguh sebuah kritik membangun yang bukan sekedar menjelek-jelekkan.

            Kalau tidak salah tangkap, Sdr. Jamaluddin memberi contoh dengan mengedepankan buku sebagai karya tulis utama seorang dosen. Menurutnya, para dosen semestinya menulis buku yang beredar secara nasional. Dia kritik ‘logika asap dapur’ dosen yang lebih mementingkan menulis diktat untuk dijual kepada mahasiswa. Ia juga menyayangkan dosen yang tulisannya cuma berupa karya ilmiah yang dimuat di buletin atau jurnal kampus yang berdaya jangkau terbatas. Selain itu, ungkapannya “… (itupun hanya dalam koran-koran lokal)” terasa sekali bukan sebagai pujian.

            Ada beberapa hal yang ingin saya kemukakan sehubungan dengan budaya menulis ini. Kebanyakan sebenarnya bersumberkan pengalaman pribadi. Namun, barangkali juga berlaku setidaknya bagi sebagian sejawat dosen yang lain. Bukan sebagai pembenaran, sekedar memaparkan alasan atau penyebab kondisi demikian.

 

BUKU

            Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan buku yang dicetak resmi dan beredar secara nasional. Yang pertama dan utama adalah segi komersial. Walaupun bukan keharusan, boleh dipastikan bahwa penulis kita akan sangat tergantung kepada penerbit untuk dapat memproduksi dan memasarkan buku. Di sisi lain, penerbit hanya akan menerbitkan buku yang menurut perhitungannya bakal laku. Itu wajar, karena sangat menentukan kelangsungan hidup penerbit itu sendiri. Bahkan penerbit yang mengaku nirlaba pun tidak mau mati konyol karena bangkrut. Jadi, bagaimanapun bermutunya naskah buku, apabila oleh penerbit dipandang tidak menguntungkan, sulit untuk dapat dijadikan buku yang beredar luas.

            Sehubungan dengan segi komersial itu, ada bidang-bidang yang memang ‘basah’ karena banyak konsumennya. Kita ambil contoh, misalnya metodologi penelitian, penulisan skripsi, atau ilmu alamiah dasar. Buku yang ditulis di bidang itu bisa diperhitungkan akan banyak pembelinya. Sementara buku-buku untuk bidang ‘kering’ seperti ekologi lahan basah atau taksonomi hewan/tumbuhan hanya diperlukan oleh segelintir mahasiswa di satu atau dua fakultas yang tidak semua perguruan tinggi memilikinya. Dosen-dosen pengajar mata kuliah tadi harus bersiap mental menelan kenyataan pahit ditolak penerbit ketika mengajukan naskah bukunya.

            Untuk sebagian bidang, barangkali buku bisa disusun dengan lebih banyak mengandalkan analisis dan ketajaman berpikir si penulis. Pustaka acuannya bisa saja tidak terlalu banyak. Ada pula bidang yang kita memang sumbernya, seperti bahasa Indonesia atau bahasa dan sastera daerah. Pustaka berlimpah dan, karena diterbitkan oleh penerbit dalam negeri, mudah ditemukan di toko buku. Tidak demikian halnya dengan buku bidang sains yang harus sangat banyak mengemukakan fakta yang justeru sebagian besar ditemukan oleh peneliti asing. Di sini kemutakhiran adalah wajib, tetapi itu tidak dapat dijangkau tanpa sumber informasi yang mutakhir pula. Rujukan berlimpah dan mutakhir amat sangat menentukan mutu buku di bidang ini. Sayangnya, justeru itulah yang tidak bisa diperoleh oleh sebagian (besar?) dosen. Alasan utamanya antara lain adalah dana, baik pribadi maupun lembaga.

            Seorang dosen sudah seharusnyalah lebih mengutamakan menulis buku ajar ketimbang buku bacaan umum. Yang dimaksud dengan buku ajar di sini adalah buku yang menjadi pegangan utama mahasiswa dalam perkuliahan. Mari kita ambil contoh buku ajar yang ditulis oleh penulis asing di bidang biologi, bidang yang penulis geluti. Buku itu terdiri atas banyak bab. Setiap bab memiliki daftar pustaka sendiri yang cukup banyak dan berlainan antara satu bab dengan yang bab lain. Setiap informasi diambil dari tangan pertama, yang umumnya adalah tulisan di jurnal atau majalah ilmiah papan atas, bukan buku ajar sejenis. Sebelum buku itu terbit, setiap bab telah ditinjau oleh para peninjau (reviewer) yang kepakarannya telah diakui di bidang yang bersangkutan. Daftar peninjaunya bisa lebih dari satu halaman besar. Itu yang ideal.

            Sekarang kita bandingkan dengan kondisi kita. Buku ajar yang ditulis biasanya tidak mencantumkan daftar rujukan atau bacaan lanjutan di akhir setiap babnya. Daftar pustaka cuma ada di bagian belakang buku, itupun jumlahnya tidak seberapa, paling-paling dua halaman tidak penuh. Ada juga memang yang membuat daftar pustaka sampai berhalaman-halaman, tetapi ada yang daftar pustakanya panjang sekedar buat gagah-gagahan. Meminta pakar lain untuk meninjau isi buku, apalagi sampai setiap bab sendiri-sendiri, belum lazim.

            Kejujuran adalah asas yang harus dijunjung tinggi oleh setiap penulis. Setiap kutipan harus diakui sebagai kutipan dengan mencantumkan sumbernya. Dengan pustaka acuan yang terbatas, hanya terdiri atas beberapa judul buku ajar sejenis, hampir semua informasi bersumber dari tangan kedua, bukan state of the art. Dalam kondisi seperti ini si penulis harus memilih. Pilihan pertama adalah jujur mengakuinya. Namun, kalau terlalu jujur, wibawanya bisa turun di mata pembaca. Pilihan lain adalah mencantumkan pustaka-pustaka primer yang sebenarnya tidak pernah dilihatnya. Lihat daftar rujukan di dalam segelintir buku yang ada, salin  ke daftar pustaka sendiri seolah-olah memang sumber primer itu benar-benar ada di tangan. Dengan demikian, daftar pustaka jadi panjang dan terkesan didominasi oleh sumber primer.

            Sebagian dosen sangat tidak bersenang hati dengan ketidakjujuran. Namun, kalau jujur ia jadi malu. Ada pula dosen yang merasa kurang ‘pede’ karena merasa ia hanya pengajar di bidang yang bersangkutan. Ia jarang atau tidak pernah sama sekali andil dalam pengembangan substansi keilmuan bidang yang diajarkannya. Kalaupun ia menulis buku, bukunya hanyalah ramuan karya orang lain karena ia tidak pernah merujuk ke temuannya sendiri. Dosen-dosen seperti tadi mungkin lebih memilih untuk tidak menulis buku kalau ia tidak bisa sekurang-kurangnya mendekati kondisi ideal seperti di atas.

 

TULISAN LAIN

            Kalau kondisi ideal tidak tercapai, sementara kebutuhan akan buku pengangan mahasiswa sangat mendesak, diktat bisa menjadi jalan keluar yang cukup realistis. Karena peredarannya untuk lingkungan yang sangat terbatas, beban moral penulis menjadi lebih ringan. Sedikit-sedikit tidak jujur mungkin tidak apa-apa karena kecil kemungkinannya untuk ketahuan. Bisa juga diktat adalah tahap ujicoba dari calon buku. Contoh untuk itu cukup banyak. Saya tidak yakin ada dosen yang bisa kaya dari berjualan diktat. Di sisi lain, kita perlu ingat bahwa menyusun diktat pun memerlukan modal waktu, energi dan biaya serta kapasitas intelektual. Tidakkah itu pantas untuk diberi imbalan dari sedikit selisih antara ongkos produksi dan harga jual? Kalaupun dijual dengan harga dua kali lipat dari biaya produksi, oplag yang tidak seberapa membuat total pemasukan tidak seberapa pula. Lebih menjanjikan jualan nilai.

Dosen adalah juga peneliti. Kualitas seorang dosen bisa dilihat antara lain dari buku yang ditulisnya. Namun, tidak banyak buku ajar yang bisa ditulis oleh seorang dosen karena memang tidak banyak mata kuliah yang diasuhnya. Sementara itu, produktivitas seorang peneliti akan terlihat dari kualitas dan kuantitas penelitian serta publikasi hasil penelitiannya. Publikasi hasil penelitian justeru harus melalui jurnal atau berkala ilmiah yang peredarannya terbatas di kalangan sejawat (nasional atau internasional) dan kemungkinan besar tidak akan dibaca khalayak umum. Kalau tadi dikatakan bahwa wajar saja seorang dosen tidak banyak menulis buku ajar, sebaliknya adalah tidak wajar kalau ia tidak banyak meneliti dan menulis hasil penelitiannya.  Jadi, tulisan dosen sebagai peneliti justeru tidak ditemukan di toko-toko buku, padahal mungkin saja di katalog perpustakaan namanya tercantum sampai puluhan kali.

            Kalau seorang dosen menulis artikel ilmiah populer untuk umum, tidak selalu itu adalah hasil temuannya sendiri. Malah yang sering terjadi adalah penulis hanya menceriterakan kembali temuan orang lain yang diketahuinya dari jurnal penelitian. Itu sah saja. Hanya saja perlu diingat bahwa dalam hal ini ia tidak menulis dalam kapasitas sebagai peneliti. Ada pula dosen yang gemar menulis opini di media massa dengan topik kesana kemari yang sering jauh dari bidang yang diajarkan atau dipelajarinya ketika kuliah. Itupun bagus. Cuma, dalam hal ini ia menulis dalam kapasitas sebagai cendekiawan, bukan sebagai peneliti ataupun pengajar.

            Mengenai pemilihan media massa untuk memuat tulisan, yang kebanyakan lokal, barangkali pertimbangannya adalah segi praktisnya saja. Sudah tentu kita ingin segera melihat tulisan kita dimuat begitu naskahnya diserahkan. Yang jelas logika asap dapur tidak berlaku di sini. Honorarium yang diberikan media nasional seperti Kompas bisa sepuluh kali lipat atau lebih dari media lokal kita. Menunggunya itu yang tidak enak. Sementara di benak sudah bermunculan ide-ide baru. Kecuali topiknya amat hangat dan si penulis cukup percaya diri dengan tulisannya, baru kita bisa menikmati tulisan dosen kita di media massa nasional.

            Jadi, kalau tulisan seorang dosen belum pernah terlihat di toko buku atau di media massa, belum tentu ia tidak terbiasa menulis. Boleh jadi ia sebenarnya rajin menulis tulisan ilmiah hasil penelitiannya. Saya mengenal seorang guru besar zoologi kita yang kepakarannya diakui secara internasional. Berkat kerja kerasnya, laboratoriumnya  memiliki koleksi caplak terlengkap di Asia. Namanya lebih banyak dikenal oleh para sejawatnya di luar negeri melalui tulisan-tulisan ilmiahnya. Namun, di khalayak umum namanya nyaris, atau malah memang, tak terdengar.

            Sudah barang tentu kita wajib angkat topi kepada dosen yang telah menulis buku ajar yang baik, produktif menulis buku pelajaran dan bacaan lain, rajin meneliti dan melaporkan hasil penelitiannya di berkala ilmiah, serta gemar membuat tulisan ilmiah populer dan feature di media massa. Terus terang, saya belum termasuk yang demikian.

 

 


BANJARMASIN POST  (9 November 2002)