www.indomedia.com

| HOME | Berita Utama |

27 November 2002

I

 

Guru Sosok Yang Digugu Dan Ditiru, Bukan Pramusaji

(Tanggapan Terhadap Tulisan Abdul Gafur)

 Oleh Zulfa Jamalie

 

Menarik apa yang, telah ditulis oleh Abdul Gafur dengan judul " Tugas Dosen Lebih Ringan " (seharusnya Tugas Dosen Dosen Lebih Ringan?, ‑‑red), opini tanggal 20 Nopember 2002 yang lalu ketika menanggapi tulisan Nadzmi Akbar. Sehingga selaku praktisi pendidikan sekaligus peminat kolom opini Banjarmasin Post, permasalahan tersebut menggugah 'rasa' penulis untuk membaca kembali dan berkali‑kali apa yang ditulis oleh saudara Abdul Gafur dan Nadzmi Akbar penulis produktif dari Fakultas Dakwah.

Tulisan saudara Nadzmi yang juga merupakan tanggapan terhadap tulisan Siti Norhayah (Pasar Bebas dan Profil Pendidik Kita) sebelumnya pada dasarnya berisi pernyataan bahwa 'guru' yang mengajar di perguruan tinggi (dosen) bukan berarti lebih hebat dan serba bisa dibanding dengan guru yang mengajar di TK, SD, SLTP atau SMU. Karena sebagaimana dosen guru pun diharuskan memiliki kompetensi khusus yang harus sesuai dengan peserta didik yang dihadapi. Sementara saudara Abdul Gafur menilai bahwa tulisan Nadzmi secara tidak langsung telah memvonis bahwa tugas atau tanggungjawab guru TK, SD, SLTP atau SMU lebih berat ketimbang tugas dan tanggungjawab dosen yang mengajar di perguruan tinggi, sehingga guru dituntut untuk memiliki kompetensi khusus dan emosi yang stabil, agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Guru, sebagaimana dimaklumi adalah ujung tombak pelaksana pendidikan dan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan aktivitas pendidikan. Istilah guru merupakan istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan sosok seorang pendidik yang berkipirah di bidang pendidikan. Istilah ini mengalami kekhususan pemakaian oleh komunitas pendidik pada bidang tertentu. Mereka yang 'mengajarkan ilmu' di tingkat TK sampai SMU dikenal dengan sebutan istilah guru, pada tingkat sekolah tinggi atau perguruan tinggi dikenal istilah dosen atau tenaga pengajar, pada dunia pondok pesantren di kenal istilah ustadz, dalam dunia pendidikan luar sekolah dikenal istilah tutor atau fasilitator, dan berbaga iistilah lainnya.

Namun apapun istilah yang di berikan kepada mereka, pada dasar nya mereka mempunyai tugas dan fungsi yang 'sama'. Karena itu sejatinya tidak laik untuk membedakan tanggungjawab guru TK, SD, SLTP atau SMU dengan dosen, dan sebagainya. Sebab masing‑masing mereka berada pada posisi yang telah ditentukan dengan tugas, tanggungjawab dan fungsi yang sesuai dengan posisi di mana ia berdiri. Kompetensi atau kernampuan yang mereka miliki pun selaras dengan tugas dan spesialisasi yang di hadapi.

Karena itu yang menarik dari tulisan saudara Abdul Gafur adalah manakala ia mengumpamakan guru dengan 'pramusaji' di restoran, sehingga sebagaimana pramusaji yang tidak bertanggung terhadap citrarasa masakan yang dibuat koki, maka. guru pun juga demikian. Karena menurut Abdul Gafur, mengenai materi pelajaran guru tidak perlu. bingung tentang apa yang harus ia ajarkan. Semua sudah ditentukan oleh Garis‑Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dan dirinci dalam Analisis Materi Pelajaran (AMP) plus rekomendasi metode serta alat bantu yang digunakan. Alokasi waktunyapun sudah ditentukan, sehingga guru tinggal 'manut' saja lagi.

 

Serba Instan

Analisis dan perumpamaan ini mengandung makna yang menganggap remeh sosok guru dan menuding bahwa tugas guru lebih ringan, karena semuanya sudah serba instan dan siap disampaikan, persis seperti masakan yang disuguhkan seorang pramusaji restoran. Padahal penulis berkeyakinan bahwa guru sebagai seorang sosok yang digugu dan ditiru, mempunyai kedudukan yang lebih dari sekedar itu sehingga dalam lagu 'Hymne guru’ ia digambarkan sebagai sosok pribadi yang terpuji, yang namanya abadi terpatri, kehadirannya laksana embun penyejuk, dan ia adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Berdasarkan kenyataan demikian asumsi penulis perumpamaan dan analisis Abdul Gafur yang menilai tugas atau tanggungjawab guru lebih ringan ketimbang dosen tidak tepat dan tidak bisa diterima, karena walaupun sudah instan, akan tetapi instan kegiatan pendidikan yang akan guru laksanakan hanya bersifat acuan. Artinya apa yang termatub dalam GBPP belum tentu seluruhnya nya sesuai dengan kondisi anak didik , termasuk metode, media atau teknik yang direkomendasikan. Karena itu guru tetap mempunyai tugas untuk merancang pembelajarannya dengan sebaik‑baiknya, menggayutkannya dengan permasalahan yang terjadi, mengimprovisasi dan menyelaraskannya dengan situasi dan kondisi di kelas (terhadap peserta didik).

Di samping itu pula tugas guru tidak semata‑mata mengajar, namun mereka juga berfungsi untuk membina membimbing, memelihara, mengayomi, meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas kompetensi, performance atau kinerja dan sebagainya terhadap eksistensi anak didik, plus dirinya. Lebih dari itu guru bertanggungjawab untuk mewariskan nilai‑nilai dan norma‑norma kepada murid‑muridnya, sehingga terjadi proses konversi nilai. Lebih khusus tanggungjawab ini dijabarkan lagi antara lain tanggungjawab moral, tanggungjawab di bidang pendidikan, tanggungjawab guru dalam bidang kemasyarakatan dan tanggungjawab guru dalam bidang keilmuan (Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, 1991: 10).

Karena itulah tanggungjawab guru tidak ringan, selesai dan terbatas pada penyajian materi pelajaran belaka, akan tetapi ia bertanggungjawab terhadap keberhasilan anak didiknya dalam menempuh suatujenjang pendidikan, plus kematangannya dalam menjalankan fungsinya selaku pendidik dan pengajar, sebagai anggota masyarakat, pemimpin, pelaksana administrasi dan sebagai pengelola proses belajar mengajar.

Itulah sebabnya menjadi guru yang ditiru dan digugu tidaklah mudah, banyak faktor yang harus dipenuhi oleh seseorang, untuk menjadi guru yang baik, misalnya selaku pribadi, guru harus memiliki kemampuan dalam kemantapan dan integritas pribadi, peka terhadap perubahan dan pembaruan, berpikir kritis dan alternatif, berdisiplin dalam melaksanakan tugas, ulet dan tekun bekerja, berusaha mencapai prestasi kerja yang terbaik, simpatik dan menarik, luwes dan bijaksana, sederhana, terbuka, kreatif dan berwibawa. Kemudian kompetensi profesional guru dalam proses belajar mengajar meliputi kemampuan menguasai bahan bidang studi, mengelola program belajar mengajar, memanajemen kelas, mengelola dan menggunakan media serta sumber belajar, dan kemampuan menilai prestasi belajar mengajar (evaluasi).

 

Berkomunikasi

Kaitannya dengan proses interaksi dan komunikasi di sekolah guru juga dituntut untuk memiliki kemampuan sosial sebagai penunjang pelaksanaan tugasnya, misalnya terampil berkomunikasi dengan siswa, bersikap simpatik, dapat bekerjasama dengan unsur-­unsur sekolah, mitra kerja dan sebagainya.

Dengan demikian jelaslah bahwa tugas dan tanggungjawab guru tidaklah ringan. Akan tetapi walaupun demikian, berdasarkan paparan di atas bukan berarti kita mengatakan bahwa tugas guru lebih berat ketimbang dosen, namun penulis hanya ingin mempresentasikan bahwa baik dosen maupun guru memiliki spesifikasi tugas dan tanggungjawab masing­masing, sehingga tidak etis untuk dibanding-bandingkan, apalagi meremehkannya.

Idealnya adalah bagaimana setiap orang guru atau dosen tumbuh kesadaran untuk melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut dengan sebaik-­baiknya, sehingga seorang guru tidak dikatakan asal guru, atau asal dosen, yang hanya asal datang dan atau asal mengajar, tanpa peduli dengan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didiknya, tanpa punya komitmen untuk memajukan pendidikan yang telah dijalankannya. Tetapi bersikap profesional dan berusaha menampilkan kinerja yang tinggi untuk meraih prestasi yang optimal, maksimal dan terbaik di antara yang baik.

 

Zulfa Jamalie Alumnus PPS Universitas

Negeri Malang