Oleh Alipir Budiman
Wacana sederhana tentang profesi guru dan dosen
dipolemik habis-habisan oleh Abdul Gafur dan Zulfa Jamalie. Zulfa menyarankan
agar tidak usah dikomparasikan antara profesi kedua tenaga pendidik itu, tapi
Abdul Gafur merasa perlu. Tulisan ini bermaksud mencari problem solving
sekaligus menutup polemik tersebut.
Memang, apa untungnya mengkomparasikan kedua
profesi itu? Adu argumen yang menarnbah kabur konklusinya. Dari kacamata guru,
profesi guru lebih berat, tapi menurut dosen, justru mereka yang lebih berat.
Gafur menganalogikan guru sebagai seorang pramusaji, sementara dosen selain
pramusaji juga seorang koki.
Keliru
Tampaknya tulisan tersebut ingin memaksa
pembaca untuk mengamini bahwa tugas dosen sebenarnya lebih berat dari guru,
hanya karena kelebihannya sebagai seorang jurumasak. Analogi tersebut sungguh
keliru untuk dijadikan perbedaan, dan Gafur menginterpretasikannya dengan kaku.
Menurutnya, dalam konteks materi pelajaran,
guru memang dituntut menguasai bahan ajar, merancang pembelajaran sebaik‑baiknya,
materi kontekstual, metode, media, teknik dan lain sebagainya untuk membuat
siswa lebih tertarik sehingga
"menyantap hidangan yang disajikan dengan nikmat".
Namun, sumber perbedannnya me nurut Gafur, guru
tidak diwajibkan menyumbangkan pengetahuan baru, atau kalau ingin membuat
pengayaan materi, cukup diambil dari pustaka, tidak harus dari temuannya
sendiri. Dianalogikan, guru hanya bertanggung jawab menciptakan suasana yang enjoy bagi "tamu " ketika
menghadapi dan menyantap hidangan, sampai meninggalkan meja. Sementara rasa
masakan, menciptakan resep‑resep baru, sudah bukan tanggungjawabnya lagi.
Inilah analogi yang keliru. Banyak orang
mempersepsikan peranan guru dengan pandangan sempit, yang tidak
bertanggungjawab terhadap, ini dan ini. Padahal, rasa masakan, ataupun
menciptakan resep baru, sudah pasti harus dimiliki guru. Berbicara tentang rasa
dan suatu masakan, tidak akan lepas dari guru sebagai koki yang telah meramu
dan mengolah bahan mentah (GBPP) menjadi masakan yang siap saji. Berbicara
tentang koki yang menyiapkan masakan, berarti berbicara tentang cara dia
mengolah dan memberi bumbu sehingga dapat menghasilkan rasa yang lezat Demikian
juga dengan pembelajaran. Satu materi pembelajaran jika diajarkan oleh
dosen/guru/tutor yang berbeda akan dirasakan oleh warga belajar dengan rasa
yang berbeda pula. Inilah tugas jurumasak (guru/ dosen) yang membuat masakan
(GBPP) menjadi lebih menarik.
Soal mencipta resep‑resep baru hal ini
justru diperlukan. Kalau tidak, maka pembelajaran laksana robot yang patuh. Contextual
teaching and learning sudah dikembangkan, dan strategi pembelajaran baru
boleh ditemukan oleh guru sendiri. Membuat materi pengayaan, tidak cukup
mengambil dari literatur saja, tetapi, guru perlu menemukan sendiri sesuai
kondisi di lapangan. Kalau ada materi yang salah dari GBPP, jelas tanggung
jawab guru untuk membetulkannya. Kalau guru terpaku pada kurikulum yang salah
itu, berarti guru adalah robot kaku yang telah kehilangan dinamika gerak.
Malah, sekarang inovasi pendidikan dimaksudkan untuk melepas belenggu
keterikatan dengan GBPP, meski tanpa harus kehilangan kendali/acuan.
Penyajian
Sebagai seorang dosen, Gafur mengibaratkan
mahasiswa seperti anak yang bisa mangerti pentingnya makanan bergizi. Memberi
makan mahasiswa lebih mudah. Dosen tidak perlu mencari akal macam‑macam
supaya murid mau menyantap hidangan, tidak perlu habis‑habisan menata
meja, sebab mahasiswa akan mau saja menyikat hidangan walau disajikan beralas
koran. Penampilan hidangan dan cara penyaiian nomor dua. Yang penting
makanannya bergizi. Karena selain menyajikan, dosen juga memasak.
GBPP itu sendiri ternyata juga bukan buatan dosen. Bahan ajar dicomot dari
berbagai literatur yang telah ditulis para ahli. Apakah kewajiban menyumbangkan
pengetahuan baru itu telah dilaksanakan? Sedikit sekali para dosen yang
melakukan penelitian dan karyanya telah dipatenkan sebagai ilmu pengetahuan
baru. Sebagai ilustrasi, sepengetahuan saya, tidak ada penelitian dari dosen-dosen
Biologi FKIP Unlam yang karyanya menjadi acuan dalam penulisan naskah Biologi
di tingkat nasional, malah sebaliknya, banyak dosen yang justru mengutip ilmu
pengetahuan dari berbagai literatur yang telah ditulis. Penulisan karya ilmiah
tidak jarang hanya sekadar memenuhi kewajiban, selain mengejar angka kredit.
Ditambah, lagi dengan cara mengajar yang
menomorduakan penampilan dan cara penyajian, berarti dosen seperti ini adalah
dosen pasif yang berharap akan tercipta pembelajaran aktif. Strategi yang
bervariasi, bertujuan agar mahasiswa mempunyai jiwa kemandirian dalam belajar
dari kalau bisa diusahakan untuk menumbuhkan daya kreativitas sehingga mampu
membuat inovasi‑inovasi. Kemampuan dosen dalam mengajar menciptakan
mahasiswa belajar aktif. Belajar aktif f mutlak mereka perlukan untuk mengikat
informasi yang baru kemudian menyimpannya dalam otak. Agar otak dapat memproses
informasi dengan baik, maka akan sangat membantu kalau terjadi proses refleksi
secara internal. Filosofi mengajar yang baik bukan sekadar, mentransfer
pengetahuan kepada mahasiswa (memberi makanan bergizi), akan tetapi bagaimana
membantu mahasiswa supaya dapat belajar.
Oleh sebab itu, betapapun menariknya materi
kuliah disampaikan, kalau penyampaiannya dinomorduakan, informasi tidak akan
lama tersimpan dalam otak, karena tidak terjadi proses penyimpanan dengan baik.
Apalagi mahasiswa masing-masing punya learning style.
Hidupkan
Suasana Belajar'
Kalau ada kecenderungan sebagian orang menganggap tugas dosen lebih ringan,
itu tidak lebih dari realitas yang banyak ditemukan di kampus. Dosen sesekali
mengajar, gayanya monoton ceramah, menyuruh mahasiswa membaca sumber literatur,
selebihnya dibantu asisten. Sementara sang dosen sibuk penelitian untuk
mendongkrak perolehan credit point.
Tugas guru dianggap lebih berat, karena guru
mendidik dengan pedagogi, bukan andragogi. Artinya, strategi dan variasi
mengajar yang tentu sesuai dengan karakteristik di atas. Selain itu, ada
administrasi dan manajemen kelas yang harus dilakukan.
Jadi, pada intinya tugas dosen dan tugas guru
itu sama. saja. Semuanya adalah koki yang merangkap jadi pramusaji, yang siap
untuk menyajikan pelajaran dengan menarik dan membuat pembeli merasa senang.
Kita jangan berasumsi bahwa pembelajaran lebih
bersifat mencekokkan ilmu (instruct), tetapi
adalah mencangkok ilmu (construct) .
Kita berikan kesempatan siswa/mahasiswa untuk mencari informasi dan
perkembangan terbaru (well informed),
memberikan ruang gerak pada mereka untuk berkreativitas dan untuk belajar
bernalar.
Karenanya, mari kita berlomba membuat nasi
goreng yang dihidangkan di restoran kita supaya pembeli merasakan lebih enak
dari nasi goreng yang ada di restoran lain. Kita hidupkan suasana belajar agar
tidak membosankan. Harapan kita bisa terwujudnya enhancing teaching and learning, lightening the teaming climate.
Staf Pengajar MTsN 2 Gambut Kab Banjar
Banjarmasin Post 14 Desember 2002